Anthraks
Daftar isi
ANTHRAKS
Sinonim: Splenic fever, charbon, milztbrand, radang limpa, wool sorter’s disease
A. PENDAHULUAN
Anthraks adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya), yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh Bacillus anthracis. Biasanya ditandai dengan perubahan-perubahan jaringan bersifat septisemia, timbulnya infiltrasi serohemoragi pada jaringan subkutan dan subserosa, disertai dengan pembengkakan akut limpa. Berbagai jenis hewan liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang.
Di Indonesia Anthraks menyebabkan banyak kematian pada ternak, kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong. Kerugian ditaksir sebesar dua milyar rupiah pertahun (1980).
B. ETIOLOGI
Penyebab anthraks adalah Bacillus anthracis. Bacillus anthracis berbentuk batang lurus, dengan ujung-ujung siku-siku. Dalam biakan membentuk rantai panjang. Dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau dalam rantai pendek dari 2-6 organisme. Dalam jaringan tubuh selalu berselubung (berkapsul), kadang-kadang satu selubung melingkupi beberapa organisme. Selubung tersebut tampak jelas batas-batasnya dan dengan pewarnaan biasa tidak berwarna atau berwarna lebih pucat dari tubuhnya. Basil anthraks bersifat aerob, membentuk spora yang letaknya sentral bila cukup oksigen. Oleh karena tidak cukup terdapat oksigen, spora tidak pernah dijumpai dalam tubuh penderita atau didalam bangkai yang tidak dibuka (diseksi), baik dalam darah maupun dalam jeroan. Kuman bersifat Gram-positif, dan mudah diwarnai dengan zat-zat warna biasa.
Gambar 1. Bacillus anthracis
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Anthrax dan http://textbookofbacteriology.net/Anthrax.html)
Pada media agar, kuman anthraks membentuk koloni yang suram, tepinya tidak teratur, yang pada pembesaran lemah menyerupai jalinan rambut bergelombang, yang sering kali disebut caput medusae. Pada media cair mula-mula terjadi pertumbuhan di permukaan, yang kemudian turun ke dasar tabung sebagai jonjot kapas, cairannya tetap jernih.
Spora tahan terhadap kekeringan untuk jangka waktu yang lama, bahkan dalam tanah dengan kondisi tertentu dapat tahan sampai berpuluh-puluh tahun. Lain halnya dengan bentuk vegatif B.anthracis mudah mati oleh suhu pasteurisasi, desinfektan atau oleh proses pembusukan.
Pemusnahan spora B.anthracis dapat dicapai antara lain dengan : uap basah bersuhu 90° selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 100°C selama 10 menit, dan panas kering pada suhu 120°C selama satu jam.
Meskipun anthrak tersebar di seluruh dunia namun pada umumnya penyakit terdapat terbatas pada beberapa wilayah saja. Biasanya penyakit timbul secara enzootik pada saat tertentu saja sepanjang tahun.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Spesies Rentan
Menurut penelitian, kerentanan hewan terhadap antraks dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
a. Hewan-hewan pemamah biak, terutama sapi dan domba, kemudian kuda, rusa, kerbau dan pemamah biak liar lain, juga marmut dan mencit (mouse) sangat rentan.
b. Babi tidak begitu rentan.
c. Anjing, kucing, tikus (rat) dan sebagian besar bangsa burung, relatif tidak rentan tetapi dapat diinfeksi secara buatan.
d. Hewan-hewan berdarah dingin sama sekali tidak rentan (not affected).
2. Pengaruh Lingkungan
Anthraks banyak terdapat di daerah-daerah pertanian, daerah tertentu yang basah dan lembab, dan juga daerah banjir. Di daerah-daerah tersebut anthraks timbul secara enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-beda. Daerah yang terserang anthraks biasanya memiliki tanah berkapur dan kaya akan bahan-bahan organik.
Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. Wabah anthraks pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang rnenjadi daerah inkubator kuman tersebut. Di daerah-daerah tersebut spora tumbuh rnenjadi bentuk vegetatif bila keadaan lingkungan serasi bagi perturnbuhannya.
3. Sifat Penyakit
Enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-beda di daerah-daerah tertentu. Derajat sakit (morbidity rate) tiap 100.000 populasi hewan dalam ancaman, tiap propinsi dalam tahun 1975 menunjukan derajat yang paling tinggi di Jambi (530 tiap 100.000) dan terendah di Jawa Barat (0,1 tiap 100.000). Dari laporan itupun dapat diketahui bahwa 5 (lima) daerah mempunyai derajat sakit lebih rendah dari 5 tiap 100.000 populasi dalam ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrim.
4. Cara penularan
Pada hakekatnya anthraks adalah "penyakit tanah", yang berarti bahwa penyebabnya terdapat didalam tanah, kemudian bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh hewan. Pada manusia infeksi dapat terjadi lewat kulit, mulut atau pernafasan. Anthraks tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu kepada yang lain secara langsung.
Anthraks tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu kepada yang lain secara langsung. Wabah anthraks pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator kuman tersebut. Di daerah-daerah tersebut spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif bila keadaan lingkungan serasi bagi pertumbuhannya, yaitu tersedianya makanan, suhu dan kelembaban tanah, serta dapat mengatasi persaingan biologik. Bila keadaan lingkungan tetap menguntungkan, kuman akan berkembang biak dan membentuk spora lebih banyak.
Basil anthraks berkerumunan di dalam jaringan-jaringan hewan penderita, yang dikeluarkan melalui sekresi dan ekskresi menjelang kematiannya. Bila penderita anthraks mati kemudian diseksi atau termakan burung-burung atau hewan pemakan bangkai, maka spora dengan cepat akan terbentuk dan mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi demikian maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi, bila spora yang terbentuk itu tersebar oleh angin, air, pengolahan tanah, rumput makanan ternak dan sebagainya.
Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit.
Masa tunas anthraks berkisar antar 1-3 hari, kadang-kadang ada yang sampai 14 hari. Infeksi alami terjadi melalui :
a. Saluran pencernaan
b. Saluran pernafasan dan
c. Permukaan kulit yang terluka.
Infeksi melalui saluran pencernaan lazim ditemui pada hewan-hewan dengan tertelannya spora, meskipun demikian cara infeksi yang lainpun dapat saja terjadi. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari hewan melalui permukaan kulit yang terluka, terutama pada manusia-manusia yang banyak berhubungan dengan hewan. Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sorter's disease), sedangkan infeksi melalui saluran pencernaan terjadi pada manusia-manusia yang makan daging asal hewan penderita anthraks.
5. Faktor Predisposisi
Anthraks merupakan penyakit yang menyerang pada hewan menyusui. Faktor-faktor predisposisi terjadinya anthrak antara lain adalah hewan dalam kondisi kedinginan, kekurangan makanan, dan juga keletihan dapat mempermudah timbulnya penyakit. Hal ini terjadi terutama pada hewan-hewan yang mengandung spora yang bersifat laten.
6. Distribusi Penyakit
Di Indonesia berita tentang suatu penyakit yang sangat menyerupai anthraks pada kerbau di daerah Teluk betung dimuat dalam "Javasche Courant" tahun 1884. Kemudian berita yang lebih jelas tentang berjangkitnya Anthraks di beberapa daerah di Indonesia di beritakan oleh "Kolonial Verslag" antara tahun 1885 dan 1886. Kemudian antara tahun 1899 dan 1900 sampai 1914, tahun 1927 sampai 1928, tahun 1930 tercatat kejadian-kejadian anthraks di berbagai tempat di Jawa dan di luar Jawa.
Insidensi kasus di Indonesia menurut Bulletin Veteriner tahun 1975 di Jabar, Sultra, NTT dan NTB; tahun 1996 di Jambi, Sultra, Sulsel, NTB, NTT dan Jabar; 1977 di NTB ;1981 di DKI. Jakarta, Jabar, NTT dan NTB; 1982 di NTB, Jatim dan Sulsel; 1983 di DKI Jakarta, NTB, NTT dan Sulsel; 1986 di NTB, Jabar dan Sumbar, 1988 -1993 di NTB;1991 di Jogya, Bali dan NTB dan 1992 -1994 di NTB.
Kasus anthrak di Jawa Tengah tahun 1990 tercatat 97 kasus pada manusia di kabupaten marang dan Bojolali, sedang di Jawa Barat pada tahun 1975 -1974 tercatat 36 kasus di kabupaten Kawarang, 30 kasus di kabupaten Purwakarta, di kabupaten Bekasi 22 kasus pada tahun 1983 dan 25 kasus pada tahun 1985.
Laporan kasus anthraks pada Januari tahun 2000 yang diduga telah terjadi tiga bulan sebelumnya, menyatakan kasus terjadi pada penduduk desa Ciparungsari kecamatan Cempaka, kabupaten Purwakarta, Jabar yang menjarah burung unta. (Struthio Camelus) milik P.T. Cisada Kema Suri yang dimusnahkan karena tertular penyakit anthraks.
Laporan kasus anthraks terakhir terjadi pada tahun 2012 di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kabupaten Maros dan Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan), yang menyerang sapi potong dan sapi perah milik peternak.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Dikenal beberapa bentuk anthraks, yaitu bentuk perakut, akut dan kronis.
Anthraks bentuk perakut gejala penyakitnya sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena ada pendarahan otak. Gejala tersebut berupa sesak nafas, gemetar kemudian hewan rebah. Pada beberapa kasus menunjukkan gejala kejang pada sapi, domba dan kambing, mungkin terjadi kematian tanpa menunjukkan gejala-gejala penyakit sebelumnya.
Antraks bentuk akut pada sapi, kuda dan domba. Gejala-gejala penyakitnya mula-mula demam, penderita gelisah, depresi, susah bernafas, detak jantung frekuen dan lemah, kejang, dan kemudian penderita segara mati. Selama sakit berlangsung, demamnya dapat mencapai 41,50C, ruminasi berhenti, produksi susu berkurang, pada ternak yang sedang bunting mungkin terjadi keguguran. Dari lubang-lubang alami mungkin terjadi eksreta berdarah. Gejala anthraks poda kuda dapat berupa demam, kedinginan, kolik yang berat, tidak ada nafsu makan, depresi hebat, otot-otot lemah, diare berdarah, bengkak di daerah leher, dada, perut bagian bawah, dan di bagian kelamin luar. Kematian pada kuda biasanya terjadi sehari atau lebih lama bila dibandingkan dengan anthraks pada ruminansia.
Antraks bentuk kronis biasanya terdapat pada babi, tetapi kadang-kadang terdapat juga pada sapi, kuda dan anjing dengan lesi lokal yang terbatas pada lidah dan tenggorokan. Pada satu kelompok babi yang mendapat infeksi, beberapa babi diantaranya mungkin mati karena antraks akut tanpa menunjukan gejala penyakit sebelum nya. Beberapa babi yang lain menunjukan pembengkakan yang cepat pada tenggorokan, yang pada beberapa kasus menyebabkan kematian karena lemas. Kebanyakan babi dalam kelompok itu mati karena anthraks kronis yang ringan, yang berangsur-angsur akan sembuh. Bila babi tersebut disembelih, pada kelanjar limfa servikal dan tonsil terdapat infeksi anthraks.
Pada kuda anthraks menyebabkan kolik, mungkin karena torsi intestinal atau invaginasi, dengan tidak disertai akumulasi feses dan gas. Sering juga disertai busung di daerah leher, dada, bahu, dan faring. Busung tersebut berbeda dengan pembengkakan yang disebabkan oleh purpura hemoragika, karena pembengkakannya cepat, ada rasa nyeri, ada demam tinggi dan perbedaan lokalisasinya. Gejala gelisah jarang terjadi tetapi selalu mengalami sesak nafas dan kebiruan. Penyakit tersebut biasanya berakhir 8-36 jam, atau kadang-kadang sampai 3-8 hari.
Pada sapi, gejala-gejala permulaan kurang jelas kecuali demam tinggi sampai 420C. Biasanya sapi-sapi tersebut terus digembalakan atau dikerjakan. Dalam keadaan seperti itu sapi dapat mendadak mati di kandang, di padang gembalaan atau saat sedang dikerjakan. Penyakit ini ditandai dengan gelisah waktu sedang mengunyah, menanduk benba-benda keras di sekitarnya, kemudian dapat diikuti dengan gejala-gejala penyakit umum seperti hewan menjadi lemah, panas tubuh tidak merata, paha gemetar, rasa nyeri meliputi pinggang, perut atau seluruh tubuh. Nafsu makan hilang sama sekali, sekresi susu menurun atau terhenti, tidak ada ruminasi, dan perut nampak agak kembung. Pada puncak penyakit darah keluar melalui dubur, mulut, lubang hidung, dan urinnya bercampur darah. Pada beberapa kasus terdapat bungkul-bungkul keras berisi cairan jernih atau nanah, pada mukosa mulut terdapat bercak-bercak, lidah bengkak dan kebiruan, serta nampak lidah keluar dari mulut. Kadang-kadang terdapat anthraks pharyngeal primer.
Gejala-gejala umum antraks berupa pembengkakan di daerah leher, dada, sisi lambung, pinggang, dan alat kelamin luar. Pembengkakan tersebut berkembang cepat dan meluas, bila diraba panas konsistensinya lembek atau keras, sedang kulit di daerah tersebut normal atau terdapat luka yang mengeluarkan eksudat cair yang berwarna kuning muda. Pembengkakan pada leher sering melanjut menyebabkan paryngitis dan busung glottis, menyebabkan sesak nafas yang memberatkan penyakit. Pada selaput lendir rektum terdapat pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Pembengkakan serupa itu juga dapat terjadi karena infeksi pada waktu eksplorasi rektal atau pengosongan isi usus.
Gambar 2. Anthraks pada hewan
(Sumber: Wahyuni 2008)
Pada beberapa kasus terjadi buang air sukar dan nyeri, feses bercampur darah, yang berwarna merah hitam dan jaringan nekrotik yang mengelupas. Kadang-kadang terdapat penyembulan rektum. Daerah perineum bengkak. Selaput lendir panas. Pada selaput lendir vagina sering terdapat busung gelatin.
Pada domba dan kambing, biasanya bentuk perakut dengan perubahanperubahan apopleksi serebral, hewan-hewan yang terserang tiba-tiba pusing, nampak berputar-putar, gigi gemeretak dan mati hanya beberapa menit setelah darah keluar dari lubang-lubang alami tubuh. Pada kasus yang kurang cepat, penyakit tersebut hanya berlangsung beberapa jam, dengan tanda-tanda seperti gelisah, berputar-putar, respirasi berat dan cepat, jantung berdebar-berdebar, feses dan urinnya berdarah, ludah keluar dari mulut dan terjadi konvulsi. Busung dan enteritis jarang ditemukan.
Pada babi, gejala penyakitnya berupa demam dan pharyngitis dengan kebengkakan pada daerah subparotidea dan larynx yang berlangsung dengan cepat (anthraks angina). Pembengkakan tersebut dapat meluas dari leher sampai ke dahi muka dan dada, menyebabkan kesulitan makan dan bernafas. Selaput lendir kebiruan, pada kulit terdapat noda-noda merah, mencret, disfagia muntah dan sesak nafas menyebabkan hewan mati lemas.
Pada kasus tanpa pembengkakan leher, gejala penyakitnya mungkin hanya berupa lemah, tidak ada nafsu makan dan menyendiri. Pada antraks lokal atau kronis hewan sering nampak normal.
Pada anjing dan pemakan daging (carnivora) lainnya, gejala penyakitnya berupa gastroenteritis dan faryngitis, tetapi kadang-kadang hanya demam. Setelah makan daging yang mengandung kuman anthraks, bibir dan lidah menjadi bengkak, atau timbul bungkul-bungkul pada rahang atas. Kadang-kadang dapat terjadi infeksi umum melalui erosi pada mukosa kerongkongan.
Pada manusia, sering ditemukan bentuk (kutan). Karena serangannya bersifat lokal, dapat juga disebut antraks lokal. Pada luka tersebut terjadi rasa nyeri, yang diikuti dengan pembentukan bungkul merah pucat (karbongkel) yang berkembang menjadi kehi man dengan cairan bening berwarna merah. Bila pecah akan meniggalkan jaringan nekrotik. Bungkul berikutnya muncul berdekatan. Jaringan sekitar nya tegang, bengkak dengan wama merah tua pada kulit sekitarnya. Bila dalam waktu bersamaan gejala demam muncul, infeksi menjadi umum (generalis) dan fasien mati karena septisemi.
Gambar 3. Anthrak kulit pada manusia
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:skin_reaction_to_anthrax.jpg)
Anthraks bentuk kutan (kulit) ditandai dengan adanya pembengkakan di berbagai tempat di bagian tubuh. Biasanya pada sapi dan kuda yang terdapat luka atau lecet di daerah kulit yang kemudian tercemar oleh kuman anthraks, maka hewan tersebut akan terinfeksi anthraks.
Manifestasi gambaran klinis anthraks sebagaimana tersebut di atas ada kalanya berbeda-beda tergantung pada perluasan penyakit dan jenis hewan yang terkena.
Anthraks kulit primer maupun sekunder jarang terdapat. Penyakit ini biasanya berakhir setelah 10-36 jam, kadang-kadang sampai 2-5 hari. Anthraks kronis dapat pula terjadi pada sapi yang berlangsung selama 2-3 bulan. Hewan-hewan yang menderita penyakit akan menjadi kurus dengan cepat.
Anthrakx bentuk usus (intestinal) sering disertai haemoragik, kenyerian yang sangat didaerah perut (kolik), muntah-muhtah, kaku dan berakhir dengan kolaps dan kematian.
Anthrakx bentuk pernafasan, terjadi pleuritis dan broncho pneumonia. Bentuk gabungan juga bisa terjadi. Setelah infeksi usus, kemudian muncul kebengkakan bersifat busung di bagian tubuh yang lain.
1. Patologi
Bangkai hewan yang mati karena anthraks dilarang keras untuk diseksi. Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis, dan terlihat sangat menggembung. Kekakuan bangkai (rigor mortis) biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti ter mungkin keluar dari lubang alami seperti hidung, mulut, telinga, anus atau dubur nampak bengkak, dan bangkai cepat membusuk. Mukosa warna kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum yang disertai pendarahan.
2. Diagnosa
a. Pemeriksaan mikroskopik langsung.
Pemeriksaan mikroskopik sediaan ulas darah perifer adalah cara yang sederhana dan tepat, bilamana hewan masih dalam keadan sakit atau baru saja mati, selama belum terjadi pembusukan. Kumannya berbentuk batang besar, Gram positif, biasanya tersusun tunggal, berpasangan atau berantai pendek. Tidak terdapat spora. Dengan pewarnaan yang baik dapat dilihat adanya selubung (kapsul)
Jika telah mulai adanya pembusukan maka dari pemeriksaan mikroskopik sediaan ulas darah perifer, agak sulit untuk membuat diagnosa yang tepat. Sejumlah kuman pembusuk memiliki bentuk yang mirip dengan antraks (kuman antrakoid). Biasanya kuman-kuman pembusuk itu agak panjang dan tersusun dalam rantai yang lebih panjang.
b. Pemeriksaan dengan pemupukan.
Bahan mengandung antraks berupa darah atau jaringan lain yang berasal dari hewan sakit atau baru saja mati, dengan mudah dapat dipupuk pada media buatan.
Jika bahan sampel berasal dari jaringan yang telah busuk, maka akan timbul berbagai kesulitan karena (a) kuman anthraks mudah mati oleh pembusukan, (b) kuman-kuman anthrakoid akan ikut nampak dan tumbuh dengan baik. Sifat-sifat Bacillus anthracis dapat dilihat seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
c. Pemeriksaan biologis
Hewan percobaan yang terbaik adalah marmut. Meskipun mencit cukup baik, tetapi mencit sangat rentan terhadap kontaminan lain. Setelah disuntik secara subkutan, marmut biasanya mati dalam waktu 36-48 jam, paling lama pada hari kelima. Jaringan marmut tersebut penuh dengan kuman antraks dan dibawah kulit tempat suntikan terjadi infiltrasi gelatin.
Penyuntikan hewan percobaan adalah cara yang paling tepat untuk membedakan kuman antraks dari kuman anthrakoid.
d. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan Uji Ascoli dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Ascoli
Uji termopresitipasi Ascoli sangat berguna untuk menentukan jaringan tercemar antraks. Untuk uji Ascoli diperlukan serum presipitasi bertiter tinggi. Jaringan tersangka di-ekstrasi dengan air dengan cara perebusan, atau dengan penambahan kloroform. Cairan jernih yang diperoleh mengandung protein antraks, jika jaringan tersebut mengandung kuman antraks. Cairan tersebutdisebut presipitinogen yang ditemukan secara perlahan-lahan dengan serum presipitasi (presipitin) dalam tabung sempit. Reaksi positif akan ditandai dengan terbentuknya cincin putih pada batas pertemuan antara kedua cairan tersebut.
3. Diagnosa Banding
Anthraks harus dibedakan dari kematian yang mendadak akibat sebab lain. Pada sapi dan babi, terutama sekali oleh pasteurellosis yang diserta gambaran pembengkakan pada leher. Pada sapi dan domba infeksi dengan Clostridia dapat menyebabkan kematian mendadak. Pada sapi perlu diperhatikan pula penyakit-penyakit Ieptospirosis akut, anaplasmosis, bacillary, hemoglobinuria, dan keracunan-keracunan oleh tanaman, timah atau fosfor yang akut. Pada kuda, anemia infectiosa yang akut, purpura hemorrhagica, macam-macam kolik, keracunan timah, dan sun stroke, mempunyai gejala-gejala serupa dengan anthraks. Pada babi, hog cholera akut, malignant oedema bentuk phyaryngeal mempunyai gejala-gejala serupa dengan anthraks.
Pada sapi dan kerbau dapat dikacaukan dengan keracunan, radang otak, penyakit pencernaan bentuk jahat AE, SE, Surra, Piroplasmosis akut, Rinderpest, dan penyakit jembrana. Pada kuda dapat dikacaukan dengan Surra, terutama jika dilihat dari timbulnya busung.
4. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Larangan pembukaan bangkai atau seksi terhadap hewan yang mati tersangka anthraks dengan dasar:
- Untuk tidak memberi peluang terbentuknya spora kuman anthraks yang mungkin menyulitkan pemberantasan penyakit.
- Amat berbahaya bagi manusia yang melakukan seksi dan pembantu-pembantunya.
Untuk itu bahan pemeriksaan yang perlu dikirimkan ke laboratorium diagnostik adalah sebagai berikut:
Hewan pemanah biak :
- Sediaan apus darah diambil dari pembuluh darah tepi (vena pada telinga, pada metakarpal, atau metatarsal). Dibuat tipis-tipis dan lebih dari satu kemudian' dilakukan fiksasi sebagaimana biasa.
- Olesan darah tepi dari hewan yang sama pada kapas bergagang (cotton swab), sepotong kapur tulis, atau sepotong kertas saring yang kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi. Alat pengambilan bahan harus dalam keadaan steril sebelum di pakai dan pengambilan hendaknya seaseptik mungkin.
Bahan pemeriksaan tersebut harus ditaruh dalam wadah yang kuat dan tertutup rapat untuk mencegah kemungkinan pencemaran dalam perjalanan.
Pada babi, kuda hewan lainnya
- Sediaan apus dari jaringan tubuh dengan lesi yang jelas (dari kelenjar limfa submaxillaris dan daerah kebengkakan)
- Sediaan apus darah dari pembuluh darah tepi (dari kuda dan babi tidak dapat diharapkan ditemuinya B.anthracis dalam sediaan ulas darah).
- Khusus untuk babi jika perlu bisa dikirimkan kelenjar limfa cervicalis yang diawetkan dalam asam borax (4%).
Bagi anthraks bentuk kutan dapat dikirimkan :
- Sediaan apus dari luka yang bersangkutan.
- Olesan pada luka yang sama memakai kapas bergagang atau yang lainnya (seperti yang telah dijejaskan sebelumnya).
Bila pengiriman bahan-bahan tersebut diatas memungkinkan maka pengiriman bahan berupa sisa-sisa bagian tubuh hewan yang masih ditemukan tanpa bahan pengawet apapun masih dapat dianjurkan, antara lain sepotong kulit, tulang, daging kering dan dendeng. Bahan-bahan tersebut dimaksudkan untuk pemeriksaan serologi.
Bahan-bahan pemeriksaan tersebut diatas dikirimkan ke laboratorium terdekat (kecuali ada ketentuan khusus) disertai surat pengantar berisi informasi selengkap mungkin, yang tembusannya antara lain dikirim kepada Kepala Dinas Peternakan atau yang berwenang setempat, dan direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Pengobatan pada hewan sakit diberikan suntikan anti serum dengan dosis kuratif 100-150 ml untuk hewan besar dan 50-100 ml untuk hewan kecil. Penyuntikan antiserum homolog adalah IV atau SC, sedang yang heterolog SC. Jika perlu penyuntikan pengobatan dapat diulangi secukupnya. Lebih dini pemakaian serum diselenggarakan sesudah timbul gejala-gejala sakit, lebih besar kemungkinan untuk diperoleh hasil yang baik.
Hewan tersangka sakit atau yang sekandang/segerombolan dengan hewan sakit, diberi suntikan pencegahan dengan antiserum. Kekebalan pasif timbul seketika, akan tetapi berlangsung tidak lebih lama dari 2 minggu.
Pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan dengan pemberian antibiotik. Jika antiserum tidak tersedia, dapat dicoba dengan obat-obatan tersebut di bawah ini.
Anthraks stadium awal pada kuda dan sapi diobati dengan procain penicillin G dilarutkan dalam air suling steril dengan dosis untuk hewan besar 6.000-20.000 IU/kg berat badan, IM tiap hari. Hewan kecil : 20.000-40.000 IU/kg berat badan, IM tiap hari.
Streptomycin sebanyak 10 gram (untuk hewan besar seberat 400-600 kg) setiap hari yang diberikan dalam dua dosis secara intramuskuler dianggap lebih efektif dari penicillin. Akan tetapi lebih baik dipakai kombinasi penicillin - streptomycin. Selain penicillin dapat pula dipakai oxytetracycline. Untuk sapi dan kuda mula-mula 2 gm IV atau IM, kemudian 1 gm tiap hari selama 3-4 hari atau sampai sembuh. Oxytertracyclin dapat diberikan dalam kombinasi dengan penicillin. Antibiotika lain yang dapat dipakai antara lain : chloramphanicol, erythromycin, atau sulfonamine (sulfamethazine, sulfanilamide, sulfapyridine, sulfathiazo), tetapi obat-obatan tersebut kurang ampuh dibandingkan dari penicillin atau tetracycline.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Perlakuan terhadap hewan yang dinyatakan berpenyakit anthraks dilarang keras untuk dipotong.
Bagi daerah bebas anthraks, tindakan pencegahan di dasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan kedaerah tersebut.
Anthraks pada hewan ternak dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksinasi dilakukan pada semua hewan ternak di daerah enzootik anthraks setiap tahun sekali, disertai cara-cara pengawasan dan pengendalian yang ketat.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Disamping pengobatan dan pengebalan, perlu cara-cara pengendalian khusus untuk penahan penyakit dan mencegah perluasannya.
Tindakan-tindakan tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Hewan-hewan yang, menderita anthraks harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat kontak dengan hewan-hewan lain
(2) Pengasingan tersebut sedapat mungkin dikandang atau ditempat dimana hewan tersebut didapati sakit. Didekat tempat itu digali lubang sedalam 2 -2,5 meter, untuk menampung sisa makanan dan feses dari kandang hewan yang sakit
(3) Setelah penderita mati, sembuh atau setelah lubang itu terisi sampai 60 cm, lubang itu di penuhi dengan tanah yang segar
(4) Dilarang menyembelih hewan-hewan yang sakit
(5) Hewan-hewan tersangka tidak boleh meninggalkan halaman dimana ia berdiam sedangkan hewan-hewan yang lain tidak boleh dibawa ketempat itu
(6) Jika diantara hewan-hewan yang tersangka tersebut timbul gejala-gejala penyakit, maka hewan-hewan yang sakit tersebut diasingkan menurut cara seperti ditentukan dalam a
(7) Jika diantara hewan-hewan yang tersangka dalam waktu 14 hari tidak ada yang sakit, hewan-hewan tersebut dibebaskan kembali
(8) Di pintu-pintu yang menuju halaman, dimana hewan-hewan yang sakit atau tersangka sakit diasingkan dipasang papan bertuliskan "Penyakit Hewan Menular Anthraks" disertai nama penyakit yang dimengerti didaerah itu
(9) Bangkai hewan yang mati karena anthraks harus segera dibinasakan dengan dibakar habis atau dikubur dalam-dalam
(10) Setelah penderita mati atau sembuh, kandang dan semua perlengkapan yang tercemar harus dihapus hamakan
(11) Kandang dari bambu atau alang-alang dan semua alat-alat yang tidak dapat diidentifikasi, harus dibakar
(12) Dalam satu daerah, penyakit dianggap telah berlalu setelah lewat masa 14 hari sejak matinya atau sembuhnya penderita terakhir
(13) Untuk mencegah perluasan penyakit melalui serangga, dipakai obat-obat pembunuh serangga
(14) Hewan yang mati karena anthraks dicegah agar tidak dimakan oleh hewan pemakan bangkai
(15) Tindakan sanitasi umum terhadap manusia yang kontak dengan hewan penderita penyakit dan untuk mencegah perluasan penyakit.
c. Pelaporan
Laporan kejadian penyakit anthraks berisi informasi selengkap mungkin, disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang dilengkapi dengan pengisian formulir yang telah ditentukan, seperti:
(1) Laporan Dinas Peternakan atau Dinas yang berwenang ke Pemerintah Daerah, dan ke Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Deptan RI, mengenai terdapatnya kejadian anthraks
(2) Mengirim bahan-bahan pemeriksaan penyakit ke laboratorium yang berwenang untuk peneguhan adanya penyakit
(3) Pernyataan tentang terdapatnya/bebasnya suatu daerah terhadap Anthraks oleh Kepala Pemerintah Daerah setelah adanya peneguhan teknis
F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.
Anonim 2008. Office International des Epizooties (OIE). Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. List A and B. diseases of mammals, birds and bees. 6th Ed
Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition. Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Direktur Kesehatan Hewan, 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia Edisi VIII. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Radostids OM and Blood DC 2007. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 10th Edition. Bailiere Tindall. London England.
Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.
Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
(Sumber: Manual Penyakit Hewan Mamalia, Kementerian Pertanian 2012)
- See more at: http://keswan.ditjennak.pertanian.go.id/index.php/blog/read/berita/penyakit-anthrax#sthash.aJ7ThaSG.dpuf